[Tulisan ini disadur dan
diringkas dari kutaib yang berjudul “Qaulul Mubin fi Jama’atil Muslimin”
karangan Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa
tahun, dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13, diambil
dari situs www.assunnah.or.id]
NASH HADITS
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
MAKNA HADITS
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Alloh berfirman,
“Dan demikianlah, kami
jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”.
(QS Al-An’am: 55)
Yang demikian itu karena
istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul
Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh
karena itu istibanah (kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran
dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan
Sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan
Sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian
adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan,
kebaikan dan kemaslahatan. Ada
sebagian cendikiawan syair menyatakan.
“Aku kenali keburukan
tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”
“Barang siapa yang
tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke
dalamnya”
Hakikat inilah yang
dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu
‘anhu. Maka ia berkata, “Manusia bertanya kepada Rosululloh tentang kebaikan,
sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di
dalamnya”.
Kedua, Kekokohan
Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat
disimpulkan bahwa. Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam,
negeri-negerinya serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah
negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir
untuk menjajahnya. Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin
tanpa rintangan dan halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar
terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah
dicabut Alloh dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Alloh menjanjikan
kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan
di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan
Alloh, di mana Alloh belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS
Ali Imran: 151)
Dan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan
kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan
jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ;
…. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari
Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)
Akan tetapi kekhususan
tersebut dibatasi oleh sabda beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
Tsauban yang lalu, yang menyatakan, “Alloh akan mencabut rasa takut
musuh-musuhmu terhadap kalian …”.
Dari hadits ini mengertilah
kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya,
atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada
aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab,
“Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di
atas aliran air”. Kemudian apa yang menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke
bumi dan cabangnya menjulang ke langit” itu seperti buih yang mengambang di
atas air?
Sesungguhnya racun yang
meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut
barokahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat
makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah
racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal
(pengkhianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu
mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak
murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun
adalah seperti yang disebut dalam hadits lain, “Tidak kembalinya hati pada
fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no. 4247)
Sedangkan makna aslinya
adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan
mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan
antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak
ada kebaikan murni, akan tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”.
Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam ‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari
yang berkata: “Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang
mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar
oleh kerusakan (fasad)”.
Dan sesungguhnya penanam
racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum
dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam: “Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa
kita”. Berkata Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari
kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini
mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan
-seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka
adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit
sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan. Mereka
mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim yang artinya
“Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia”
(Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan
harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah
(kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka
dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan,
muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat
sebagai dai atau du’at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak
dari da’a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak
serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).
Ketiga, Jamaah
minal Muslimin dan bukan Jamaah Muslimin/’Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa,
bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah
Jamaatul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi
ikhtilaf dan perpecahan ini di mana Alloh tidak menurunkan sedikit pun
keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal
untuk Islam itu adalah Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin)
dan bukan Jamaatul Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum
muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai
kaum muslimin, bahwa yang disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di
dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan
hukum-hukum Alloh. Adapun jamaah yang bekerja untuk mengembalikan daulah
khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong
dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu
supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat
tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rohimahulloh dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari
rohimahullo h yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah
adalah Sawadul A’dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud,
bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman
dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Alloh tidak akan
mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan
dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia
berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu
firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari
terjatuh ke dalam keburukan”.
Keempat, menjauhi
semua firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Kelima, jalan
penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, bahwa pernyataan itu mengandung
perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna
Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat ‘Irbadh Ibnu
Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di antara kalian maka akan
melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang
diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang siapa yang menemui yang demikian
itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin.
Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat Abu Dawud no. 4607,
Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan
kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu
yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan
hadits ‘Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk
ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih
Ridhwanullah ta’ala ‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya
Jamaah Muslimin serta Imamnya.
Kedua, di sini ditunjukkan pula bahwa
lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak
dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk
berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi
firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang
rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan
tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka
wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus
ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih
dahsyat.
Ketiga, oleh karena itu menjadi kewajiban
bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang
berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan
bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga
yang terakhir dibunuh Dajjal.
Maraji’:
1. Al Ilzamat wa at
Tatabu oleh Ad-Daruquthni
2. Tafsir Al-Qur’an
Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
3. Al Jami’ As Shahih,
oleh Bukhari dengan Fathul Bari
4. Haliyatul Auliya’ oleh
Abu Na’im Al- Ashbahani
5. Silsilah Al-Hadits
As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
6. As-Sunnan, oleh Ibnu
Majah
7. As-Sunnan, oleh Abu
Dawud
8. As-Sunnan, oleh
Tirmidzi
9. Syiar A’lam An-Nubala,
oleh Adz-Dzahabi
10. Syarhu Sunnah, oleh
Baghawi
11. As-Shahih, oleh Muslim
bin Al-Hujjaj
12. ‘Aunil Ma’bud, oleh
Syamsul Al-Abadi
13. Al-Kaasyif, oleh
Dzahabi
14. Al-Mustadrak, oleh
Hakim
15. Al-Musnad, oleh Ahmad
bin Hambal
Sumber: http://muslim.or.id/?p=363
Tidak ada komentar:
Posting Komentar